Senin, 03 November 2008

KEINDONESIAAN HARUS DIREKONSTRUKSI

Jakarta - Tantangan kebangsaan dan kedaerahan telah bergeser dari isu-isu lama ke isu-isu baru yang membutuhkan perekonstruksian sesuai dengan tantangan zaman. Ke-Indonesia-an harus direkonstruksi melalui isu-isu nasionalisme yang kontekstual berciri demokratisasi beralaskan prinsip kedaulatan rakyat.
“Konstruksi ke depan bagaimana? Apakah kembali mau menyeragamkan, kembali mau membedakan? Apakah kita sama atau beda saja?” tanya Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Ginandjar Kartasasmita dalam pengantarnya membuka diskusi panel DPD bertema “Wawasan Kebangsaan Berbasis Daerah Melalui Penguatan Parlemen Indonesia”, Selasa (28/10), di Lobby Gedung DPD lantai 1 Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta.
Hadir sebagai narasumber antara lain M Ichsan Loulembah (anggota DPD), Fahri Hamzah (anggota DPR F-PKS), Lukman Hakim Syaifuddin (anggota DPR F-PPP), Agus Widjojo (senior fellow CSIS), Maswardi Rauf (FISIP UI), Arbi Sanit (FISIP UI), Mas Mohammad Fajrul Falaakh (FH UGM), A Irman Putrasiddin (FH UIEU), Cecep Effendi (FISIP UMJ), dan Ade Supriatna (Asosiasi DPRD Provinsi).
Ginandjar menyatakan, sangat erat kaitan wawasan kebangsaan dengan wawasan kedaerahan yang keduanya membangun ke- Indonesia - an. Sayangnya, elemen-elemen kedaerahan dan kebangsaan sering tidak dianggap sebagai sesuatu yang terterima (taken for granted).
Nasionalisme yang berciri demokratisasi tersebut beralaskan prinsip kedaulatan rakyat seperti pasal dan ayat UUD 1945 yang diamandemen empat kali. Pasal dan ayat yang diamandemen mengembalikan hekekat ke- Indonesia - an melalui desentralisasi atau otonomi daerah, pemilihan oleh rakyat secara langsung, hak asasi manusia. Penguatan peran DPD dalam sistem ketatanegaraan juga bertujuan untuk menegaskan keinginan yang dicita-citakan tersebut.
Menurut Ginandjar, pengertian Indonesia sebagai the melting pot adalah metafora yang menggambarkan kemajemukan yang saling berinteraksi berbasis multikulturalisme.

Merekonstruksi ke-Indonesia-an dibutuhkan mengingat perbedaan kerap dikesampingkan atau dianggap bukan rahmat yang menjadi kekuatan.
Keterkaitan wawasan kebangsaan dengan wawasan kedaerahan yang sangat erat justru harus diperkuat melalui penghormatan atau penghargaan perbedaan sebagai fitrah Indonesia . “Sebagai hakekat, sebagai jati dirinya.”
Uniformisasi yang dilakukan penguasa Orde Lama dan Orde Baru justru mengingkari konfigurasi daerah bersama suku atau etnis dan agama di Indonesia . Terbukti, lanjutnya, bermunculan pemberontakan di daerah-daerah yang menuntut diri terlepas dari negara Republik Indonesia . Penstabilitasan juga memunculkan pemberontakan. Belakangan, Orde Reformasi mengoreksi pendekatan penyeragaman dan penstabilitasan karena mengingkari hakekat bangsa. (Gahar).

Tidak ada komentar: